Jakarta, TopBusiness – Bisnis travel terutama yang menyasar wisatawan outbound, termasuk haji dan umroh saat ini mati suri akibat dampak pandemi covid-19. Bahkan, dalam satu setengah tahun terakhir ini banyak pengusaha travel outbound yang bangkrut dan beralih ke usaha lain demi untuk menyambung hidup.
“Sekarang travel-travel sudah bukan makan tabungan lagi, tapi sudah makan aset. Mereka sudah menjual aset-asetnya. Sampai izin-izin umrah pun sekarang diobral murah sekali, demi mengganjal kebutuhan hidup,” kata Chairman Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Priyadi Abadi, M.Par kepada TopBusiness di Jakarta, kemarin.
Para pelaku travel outbound dalam negeri meminta pemerintah memberikan dukungan kebijakan dan stimulus untuk membangkitkan kembali usaha travel di kala pandemi ini. Mereka meminta pemerintah menghapus aturan wajib karantina selama enam hari lima malam di hotel bagi WNI yang baru pulang berlibur dari luar negeri. Itu dilakukan agar tidak memberatkan pihak travel dan peserta tour.
“Aturan tersebut bisa diubah misal isolasi cukup satu hari atau menjadi isolasi mandiri di rumah saja. Kami prinsipnya memahami prokes dan kita melakukan prokes untuk kenyamanan dan keamanan semua pihak. Tetapi kalau sampai ada karantina enam hari lima malam di hotel dengan biaya ditanggung traveler jelas sangat memberatkan, apalagi dalam kondisi pandemi saat ini,” kata Priyadi yang juga menjabat sebagai direktur utama PT. Adinda Azzahra Tour & Travel ini.
Menurut Priyadi, biaya yang harus dikeluarkan setiap peserta tour untuk karantina selama enam hari lima malam di hotel itu paling murah Rp 5 juta per orang. Itu dengan asumsi memakai hotel bintang tiga dengan dua kali test PCR dan makan tiga kali sehari.
“Di tengah situasi sulit saat ini, orang untuk jalan-jalan saja sudah diirit-irit. Tapi ini harus keluar uang untuk karantina di hotel, pasti mereka keberatan dan itu tidak mungkin dibayar oleh travel. Ditambah lagi rasa kekhawatiran yang masih tinggi dari masyarakat Indonesia untuk bepergian membuat semakin terpuruknya dunia pariwisata, khususnya pariwisata outbound,” tutur Priyadi.
Selain soal biaya tour yang meningkat, kewajiban karantina itu membuat wisatawan harus mengambil cuti yang cukup panjang untuk berlibur. Dan, itu sulit dilakukan oleh calon peserta tour. “Misal tournya 10 hari tambah karantina enam hari kan bisa 16 hari, bagaimana mereka mau mengambil cuti kantor atau mengambil liburan sekolah, ini tidak mungkin dilakukan oleh peserta tour,” kata Priyadi yang berpengalaman lebih dari 25 tahun membawa banyak wisatawan Indonesia ke Eropa barat.
Pemerintah, kata Priyadi, harus memikirkan agar pelaku travel outbound yang juga mempekerjakan banyak tenaga kerja ini bisa bertahan hidup dan bahkan berkembang. “Ini sekarang kan kebijakannya terkesan pilih kasih. Peraturan karantina di hotel itu memang membawa angin segar bagi pelaku industri hotel, tapi mematikan pelaku travel,” ujar dia.
Segera Cairkan Dana Hibah
Stimulus kedua yang dibutuhkan pelaku travel adalah pencairan dana hibah yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Menteri Pariwisata pernah berjanji untuk segera menyalurkan dana hibah pariwisata sebesar Rp 3,7 triliun untuk para pelaku industri pariwisata terdampak pandemi covid-19.
“Itu tolong segera dicairkan, direalisasikan karena pelaku travel setahu saya sampai saat ini belum ada yang menerima dana hibah tersebut,” ucap Priyadi.
Selanjutnya pemerintah juga perlu memberikan stimulus lain seperti penghapusan pajak untuk para pelaku usaha travel. Itu harus dilakukan karena mereka tidak memperoleh penghasilan karena ada pembatasan-pembatasan selama pandemi. “Pemerintah bisa juga membantu biaya listrik atau PAM, itu bisa membantu kami para pengusaha travel yang sangat terdampak saat ini,” kata dia.
Menurut Priyadi, situasi sulit ini tidak ada yang memperkirakan dan membayangkan sebelumnya. Ini yang membuat para pelaku usaha tidak memiliki persiapan menghadapi dampak pandemi ini. “Bayangkan, umrah ditutup dan haji tidak diberangkatkan sampai dua kali. Seumur-umur saya baru dengar sekarang ini,” ucap dia .
Dalam dunia pariwisata, kata Priyadi, ada dua tsunami besar yang terjadi, yakni pertama pada 1998 dengan adanya krisis moneter yang membuat kurs dolar AS sampai menyentuh Rp 17 ribu dari sebelumnya Rp 2.500-an. Tapi itu pemulihannya cepat karena hanya terjadi di Indonesia. “Tsunami kedua ya pandemi saat ini, yang semua negara di dunia mengalami. Dan, tidak ada yang bisa memperkirakan dampaknya sampai sedahsyat ini,” tuturnya.
Saat ini, Priyadi mengakui, sektor usaha lain banyak yang sudah mulai bergerak. Tapi usaha travel outbound, serta haji dan umrah masih mati suri. Banyak di antara pelaku usaha ini sudah menutup kantornya dan beralih ke usaha lain. “Alhamdulillah kalau mereka punya keahlian lain, bagaimana yang tidak punya keahlian selain di bidang travel?” kata dia.
Untuk itulah, pelaku bisnis travel outbound berharap sekali adanya dukungan pemerintah. Terlebih, beberapa negara seperti Turki, Mesir, dan Uni Emirate Arab masih membuka pintu untuk para turis yang ingin masuk ke negara-negara tersebut. “Kami sekarang sudah mulai membuat paket tour sesuai negara yang sudah membolehkan turis masuk dan tidak ada karantina di negara tersebut,” ujar Priyadi.